Sejarah Pahlawan Indonesia Kiai Haji Abdul Halim : Sang Ulama dan Pejuang
Sejarah Pahlawan Indonesia Kiai Haji Abdul
Halim – Penjajahan
dan penindasan manusia atas manusia sangat bertentangan dengan ajaran islam.
Selain itu, cinta tanah air merupakan sebagian bukti keimanan seorang muslim.
Maka, ketika Belanda yang kemudian diikuti Jepang berkehendak kuat merampok
kekayaan Indonesia dan menjadikannya sebagai wilayah jajahan mereka, tidak
sedikit dari ulama yang terdiri di garda terdepan untuk membela negeri
tercinta. Salah seorang di antara mereka adalah Kiai Haji Abdul Halim.
Nama kecil Abdul halim adalah Otong Syatori, dilahirkan di desa
Cibolerang, jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat pada 26 Juni 1887. Ayahnya
bernama Kiai Haji Muhammad iskandar, seorang penghulu di Kawedanan Jatiwangi,
dan ibunya bernama Nyi Hajjah Siti Mutmainnah. Garis keturunan ayahnya yang
merupakan ulama serta ibunya yang terhitung masih keturunan Sunan Gunung jati
menjadikan Otong Syatori mendapat ajaran islam sejak dini.
Ketika masih remaja, Otong Syatori telah menyelesaikan
pelajarannya di berbagai pesantren di wilayah Majalengka, di antaranya Pesantren
Ki Anwar di kampung Ranji Wetan Majalengka, Pesantren Bobos Cirebon dan sebuah
pesantren di Cilimus Kuningan. Pada usia 22 tahun, Otong Syatori berangkat ke
tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji setelah sebelumnya menikah
dengan putri Kyai Haji Muhammad Ilyas. Ia kemudian menetap di Mekkah untuk
menambah wawasan pengetahuan keagamaannya.
Sekitar dua tahun menetap di Mekkah, Otong Syatori kembali ke
tanah air. Ia mengubah namanya menjadi Abdul Halim. Bekal ilmu agama yang
diperoleh mendorongnya untuk mendirikan sebuah organisasi yang lantas diberi
nama Majilisul Ilmi. Abdul Halim menggunakan organisasi terebut untuk
menyebarkan ajaran islam. Pada tahun 1912, Ia menyempurnakan organisasi yang
didirikannya itu menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub.
Organisasi ini tidak hanya menyebarkan ajaran islam, namun juga merambah dunia
pendidikan dan kegiatan ekonomi. Rakyat yang tertindas secara ekonomi
dibangkitkannya dengan mengembangkan usaha pertanian, mendirikan usaha
percetakan, pabrik tenun, dan juga pembangunan. Abdul Halim juga menerapkan
suatu sistem kepemilikan saham perusahaan bagi guru-guru yang aktif mengajar.
Ia pun turut bergerak dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dengan mendirikan
rumah yatim piatu Fatimiyah.
Pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak menghendaki organisasi
Hayatul Qulub kian membesar. Dengan alasan organisasi yang didirikan Abdul
Halim itu mengganggu keamanan, pemerintah menutup Hayatul Qulub. Namun,
penutupan itu sama sekali tidak menyurutkan semangat perjuangan Abdul Halim.
Ulama yang disegani di kawasan Majalengka tersebut lantas mendirikan organisasi
baru yang bernama Perikatan Oelama Organisasi ini bergerak di bidang
sosial-pendidikan.
Perikatan Oelama berkembang pesat. Dalam kurun 8 tahun, hampir
seluruh pulau Jawa dan Madura telah dijangkaunya. Program unggulan organisasi
itu adalah pemberian bantuan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul
Muta’allimin. Pendirian madrasah juga gencar dilakukan. Tercatat ada 40
madrasah yang telah dibangun antara 1917 hingga 1920 yang sebagian besar
bertempat di Pulau Jawa. Sekitar 15 tahun kemudian, tpatnya pada 1939,
Perikatan Oelama telah menyebar dan menjangkau hampir seluruh wilayah
Indonesia. Ide dan gagasan Abdul Halim tak pernah kering dari inovasi serta
perbaikan. Ia melontarkan gagasan untuk membangun untuk membangun sebuah pondok
pesantren plus, dimana para santri tidak hanya mempelajari agama islam,
melainkan juga berbagai keterampilan dan kerajinan tangan. Sebuah gagasan
brilian yang akhirnya mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pihak,
sehingga akhirnya berdirilah pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan santi
asromo.
Dalam kehidupan berbangsa, Abdul Halim tercatat sebagai salah satu
yang berdiri di barisan terdepan dalam mengupayakan pembesan negeri tercintanya
dari cengkeraman penjajah. Sikapnya sangat tegas untuk tidak kooperatif dengan
pihak penjajah. Ia sangat memuliakan tanah airnya, meski menentang sikap
nasionalisme yang terlalu berlebih-lebihan. Abdul Halim kemudian tercatat sebagai
pendiri Persatuan Umat Islam. Abdul Halim juga langsung terlibat dalam berbagai
pertempuran melawan kekuatan asing, baik Belanda maupun Jepang, diwilayah
sekitar Karesidenan Cirebon, Ketokohannya diakui secar anasional sehingga
ia terpilih menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Begitu pun setelah Indonesia merdeka dan Belanda mencoba
kembali menancapkan kukunya dengan melakukan Agresi Militer I, Abdul Halim
turut bergerilya bersama para pejuang Indonesia lainnya. Ia berulang kali
memimpin penghadangan kekuatan militer Belanda di wilayah Karesidenan Cirebon.
Atas semua jasa dan pengabdian luar biasanya bagi Indonesia,
Pemerintah Indonesia menganugerahi Abdul Halim tanda kehormatan Bintang
Mahaputra Utama dari Presiden Republik Indonesia.
Kiai Haji Abdul Halim wafat pada 17 Mei 1962, pada umur 74 tahun.
Berselang 46 tahun setelah wafatnya, Pemerintah Indonesia menganugerahi Kiai
Haji Abdul Halim sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden
tertanggal 6 November 2008.
Comments