Surat An Nur ayat 35 merupakan sebuah “metode penelitian“ yang canggih
Saya mendapatkan bahan baru dari Cak
Nun, yakni ketika beliau mengatakan bahwa Surat An Nur ayat 35 merupakan sebuah
“metode penelitian“ yang canggih. Saya tentu saja bengong, kaget dan bercampur
penasaran. Meski sudah doktor dan insya Allah hampir profesor, otak saya
ternyata masih bundel, sehingga tidak pernah berfikir sejauh ini. Jika benar
(dan kita harus yakin benar) apa yang dikatakan Cak Nun, barangkali ini satu “lompatan
ilmiah” yang belum dilakukan oleh orang yang mengaku ilmuwan di mananpun di
dunia ini.
Apa
yang dikemukakan Cak Nun tersebut membuktikan bahwa Qur’an merupakan gudangnya
ilmu pengetahuan. Sayang sampai saat ini orang hanya membacanya saja dalam arti
literer, sehingga yang didapatkan „hanyalah“ kesadaran religus atau kepuasan
spiritual, namun kurang mendapatkan informasi intelektual (yang nantinya juga
akan berpuncak kepada spiritual).
Dalam
dunia ilmiah, saat ini setidaknya ada dua metode penelitian yang sangat
populer, yang umumnya juga sering dipertentangkan penggunaannya, dan bukan
disandingkan. Metode itu ialah metode penelitian kualitatif dan
metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian
kualitatif-naturalistik memiliki karakter : 1). Bertujuan memperoleh gambaran
yang lebih mendalam tentang suatu fenomena; 2). Bertujuan untuk memahami makna
dari suatu fenomena; 3). Memandang fenomena secara utuh dan holistik; 4).
Desain penelitian bersifat emergensi, artinya terbuka untuk disempurnakan.
Metode
kualitatif memulai dengan definisi dan konsep yang umum, melakukan pengamatan
dengan lensa yang lebar, mencari pola-pola antarhubungan dan antarkonsep yang
sebelumnya tidak ditentukan. Untuk mencapai tujuan penelitian kualitatif
seperti ini, langkah yang diambil adalah : (l) membangun model teori
melalui pengembangan unsur teori dan unsur kajian yang telah ada, (2)
mengumpulkan data melalui informan sesuai dengan data yang dibutuhkan, (3)
menetapkan peneliti sendiri sebagai instrumen utama penelitian, (4) melakukan
analisis data secara kualitatif, yang dilakukan baik ketika berada di lapangan
maupun setelah pekerjaan lapangan selesai.
Sedangkan
yang disebut metode penelitian kuantitatif adalah penelitian
yang menggunakan logika positivistik dan menghindari hal-hal yang bersifat
subyektif. Untuk itu, proses penelitiannya mengikuti prosedur yang telah
direncanakan, karena tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyusun
ilmu nomotetik yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum-hukum dari generalisasinya.
Jadi subyek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang
dibutuhkan, serta alat pengumpul data yang dipakai, harus sesuai dengan apa
yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan
melalui pengukuran dengan menggunakan alat yang obyektif dan baku, melibatkan
penghitungan angka atau kuantifikasi data.
Karenanya
dapat dipahami jika peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan obyek
penelitian, dalam arti dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subyek
penelitian. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul, dan dalam
analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik. Hasil akhir
dari penelitian kuantitatif adalah generalisasi dan prediksi, lepas dari
konteks waktu dan situasi.
Metode
lain yang populer adalah grounded research diperkenalkan
oleh Glaserdan Strauss (1967). Dalam metode ini berlawanan sama sekali dengan
pendekatan klasikal, karena pada pendekatan klasikal, penelitian menggunakan
logika deduksi-hipotesis-verifikatif atau disebut juga dengan penelitian
verifikatif. Umumnya penelitian ex post facto, beranjak dari teori
kemudian dijabarkan menjadi hipotesa-hipotesa sesuai dengan masalah yang ingin
dipecahkan, lalu diadakan verifikasi untuk menguji kebenaran hipotesa.
Namun grounded research bertolak
dari level fakta (empirik), dan dari fakta (empirik) tanpa teori bergerak
menuju level konseptual. Pada pendekatan ini, dari data suatu konsep, hipotesa
dan teori dibangun. Pada penelitian Grounded, peneliti langsung
terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori dan hipotesis
tertentu. Bahkan secara provokatif sering dikatakan agar peneliti ketika terjun
ke lapangan dengan “kepala kosong” untuk menyingkirkan sikap, pandangan,
keberpihakkan terhadap teori atau mazhab ilmu tertentu, yang dikhawatirkan
menjadi bahaya besar bagi penyusunan teori, dan sepenuhnya berpedoman kepada
apa yang ditemukannya di lapangan
Walaupun
barangkali peneliti memiliki desain atau perencanaan penelitian hingga tuntas,
namun kesemuanya itu bersifat fleksibel, bahkan boleh jadi tidak dipakai sama
sekali dalam proses penelitian sehingga tidak terjebak pada kecenderungan studi
verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri dengan level
konseptual teoritikal, dengan demikian, apa yang ditemukan berupa konsep,
proposisi, dan teori, benar-benar berdasarkan data yang dikembangkan secara
induktif.
Lalu
Bagaimana An Nur 35 ?
Difirmankan
dalam Surat An Nur 35 :
terjemah QS. An Nur 35
Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui
segala sesuatu. (QS.
24:35)
Tentu
banyak tafsir mengenai apa itu cahaya. Menurut Cak Nun, Surat An Nur 35 ini
merupakan satu “metode penelitian” yang ditawarkan Allah kepada manusia secara
luar biasa. Metode ini tentu saja mengatasi berbagai metode penelitian yang
ditawarkan manusia sebagaimana saya sebutkan sebelumnya. Dalam An Nur 35
tersebut jelas Allah adalah cahaya itu sendiri, dan manusia diperintahkan untuk
mencarinya! Bukankah proses mencari adalah “ruh” utama sebuah penelitian? Tentu
surat an Nur 35 lebih lengkap lagi dibanding metode kualitatif-kuantitatif dan grounded di
atas, karena pencarian yang dimaksud di surat ini sampai kepada puncak
tertinggi, yakni Allah.
Sebaliknya
metode penelitian yang ditawarkan manusia hanya sampai pada tingkat fenomena
atau gejala alam dan sosial, yang hanya merupakan bagian kecil dari kehadiran
Allah. Istilahnuurun ala nur sungguh luar biasa. Cahaya yang
berlapis-lapis, dan manusia diperintahkan menuju cahaya ! Karena cahaya
berlapis-lapis, berarti tidak ada kata berkesudahan. Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya.” boleh
jadi orang yang dikehendakiNya, untuk diresapkan keimanan dan al-Qur-an ke
dalam dadanya. Ini hak prerogratif Allah, dan manusia harus mencarinya, atau
menawarkan diri kepada Allah agar dipilih untuk diberi cahayaNya.
Perumpamaan
ini adalah satu kerja besar mencari dan mencari. Kerja besar itu diantaranya
meningkatkan daya kompatibilitas kita agar dapat menyesuaikan diri dengan “chip”
yang diberikan Allah sehingga kerja “komputer” di badan dan jiwa kita sesuai
dengan kehendakNya. Proses mempersiapkan diri ini adalah proses yang tak
berkesudahan sampai optimal program “komputer” di badan dan jiwa kita, agar
selalu up to date, tidak letoy apalagi hang!
Istilah zujajah(tabung kaca) bisa jadi itu akal pikiran dan
sebagainya sebagai alat untuk mengolah itu semua.
Firman
Allah: “Perumpamaan
cahaya-Nya,” ada dua pendapat berkaitan dengan dhamir (kata
ganti orang ketiga) dalam ayat ini, yakni Dhamir tersebut
kembali kepada Allah, atau perumpamaan petunjuk-Nya dalam hati seorang Mukmin
seperti misykaah (lubang yang tak tembus) atau ada yang
memaknai jasad manusia. Allah juga menyamakan kemurnian hati seorang Mukmin
dengan lentera dari kaca yang tipis dan mengkilat, menyamakan hidayah al-Qur-an
dan syari’at yang dimintanya dengan minyak zaitun yang bagus lagi jernih,
bercahaya dan tegak, tidak kotor dan tidak bengkok.
Kalau
Cak Nun mengatakan mishbaah itu qolbu, maka ia
memiliki kompatibilitas yang tinggi sehingga tidak memiliki batas-batas.
Karenanya qolbu harus ditempatkan dalam zujajah (tabung
kaca) justru agar dapat “mengatur’ kompatibilitasnya. Boleh jadi qolbu ini
ada beberapa tingkatannya. Pertama, qalbun ajrad (hati yang
polos tak bernoda) di dalamnya seperti ada pelita yang bersinar. Kedua, qalbun
aghlaf (hati yang tertutup) yang terikat tutupnya. Ketiga,qalbun
mankuus (hati yang terbalik). Keempat, qalbun mushfah (hati
yang terlapis). Adapunqalbun ajrad adalah hati seorang Mukmin,
pelita dalam hatinya adalah cahaya, qalbun aghlafadalah hati orang
kafir, qalbun mankuus adalah hati orang munafik, yang
mengetahui kemudian mengingkari. Qalbun mushfah adalah hati
yang di dalamnya bercampur iman dan nifak, iman yang ada di dalamnya seperti
tanaman yang disirami air yang segar dan nifak yang ada di dalamnya seperti bisul
yang disirami darah dan nanah, mana dari dua unsur di atas yang lebih dominan,
maka itulah yang akan menguasai hatinya.
Kalau
Allah berfirman “Pelita itu di dalam kaca,” cahaya tersebut
memancar dalam kaca yang bening, maka maksudnya adalah perumpamaan hati seorang
Mukmin, (Dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara,” Karena bintang apabila dilontarkan akan lebih bercahaya
daripada kondisi-kondisi lainnya. Berbeda dengan cahaya matahari, bulan,
bintang atau lampu, yang baru menampakkan benda-benda yang ia tuju, sebaliknya
cahaya Allah adalah abadi dan akan menuntun manusia sampai menuju kebahagiaan
sejati di akherat nanti.
Firman
Allah: “Yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,” yaitu
berasal dari minyak zaitun, pohon yang penuh berkah, yakni pohon zaitun, Yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya),” tempat
tumbuhnya bukan di sebelah timur hingga tidak terkena sinar matahari di awal
siang dan bukan pula di sebelah barat hingga tertutupi bayangan sebelum
matahari terbenam, namun letaknya di tengah, terus disinari matahari sejak pagi
sampai sore. Sehingga minyak yang dihasilkannya jernih, sedang dan bercahaya
(Tafsir Ibnu Katsir).
Tafsirnya
barangkali seorang Mukmin yang terpelihara dari fitnah-fitnah. Adakalanya
memang ia tertimpa fitnah, namun Allah meneguhkannya, ia selalu berada dalam
empat keadaan berikut: Jika berkata ia jujur, jika menghukum ia berlaku adil,
jika diberi cobaan ia bersabar dan jika diberi, ia bersyukur. Firman
Allah: “(Yaitu), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Firman ini juga menunjukkan kekuasaan
bahwa Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah
membimbing kepada hidayah bagi siapa yang Dia kehendaki. Selanjutnya pohon
zaitun yang tidak tumbuh di Barat atau Timur juga menunjukkan ajaran Islam yang
moderat, demokratis, dan di tengah-tengah, atau Rasululloh SAW mengatakan yang
sedang-sedang saja.
Betapa
dahsyatnya surat An Nur 35 ini karena menegaskan manusia untuk menuju cahaya.
Ini berarti proses yang maha panjang, tidak berkesudahan, dan berarti pula
manusia disuruh selalu berpikir, meneliti, berdiskusi, mempertanyakan kembali,
tanpa putus-putusnya. Proses ini boleh jadi dapat dilalui dengan berbagai
”metode”, syariah, sahadah, mekanisme tauhid dan seterusnya untuk menuju cahaya
Allah. Sudah pasti ”metode” untuk sampai pada tataran ini sangat canggih,
melebihi metode penelitian ciptaan manusia.
Jadi
ibadah mahdoh dan sebagainya, hanyalah ”metode” dan bukan
”tujuan”. Untuk menuju cahaya Allah, Rosululloh SAW mengajarkan ”metode riset
aksi (action research)” di Madinah, yakni untuk memajukan kesejahteraan
dan peradaban. Perubahan ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dst, hanya dapat
diperoleh dari ”riset aksi” yang metodenya ada di Surat An Nur 35 tersebut.
Orang yang sampai kepada cahaya Allah barangkali tidak dapat diukur atau
dilihat secara pasti, namun setidaknya dapat dilihat dari output sosial-nya.
Jadi jangan dibalik, dilihatinput mahdoh-nya.
Ruar
biasa!
Comments